Foto: Pengunjung melihat iklan rekrutmen selama Japan Job Fair 2018 di Seoul, Korea Selatan, 7 November 2018. Foto diambil pada 7 November 2018. REUTERS / Kim Hong-Ji
simantab.com – Jepang, yang dikenal sebagai Negeri Matahari Terbit, terkenal dengan budaya kerjanya yang keras, yang berkontribusi pada tingginya tingkat stres di negara tersebut.
Pada tahun 2022, sekitar 82% karyawan di Jepang melaporkan mengalami stres terkait pekerjaan, sementara 31% mengalami burnout, angka yang lebih tinggi 5% dari rata-rata global. Beban kerja yang berlebihan dan tekanan budaya yang kuat menjadi faktor utama penyebab stres ini.
Sebagai respons, pemerintah Jepang mulai mendukung konsep empat hari kerja dalam seminggu sejak 2021, meskipun adopsi konsep ini berjalan lambat.
Data dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan menunjukkan bahwa sekitar 8% perusahaan di Jepang mengizinkan karyawan untuk mengambil cuti tiga hari atau lebih per minggu, dan 7% memberikan satu hari libur yang diamanatkan secara hukum.
Langkah ini mencerminkan perubahan besar di Jepang, yang terkenal dengan budaya kerjanya yang intens. Tekanan untuk mengorbankan waktu demi perusahaan sangat kuat, dan jam kerja panjang menjadi norma. Meski 85% pengusaha melaporkan memberikan dua hari libur seminggu, banyak pekerja masih melakukan “kerja lembur” tanpa dilaporkan dan tanpa kompensasi.
Perubahan ini dianggap penting untuk mempertahankan tenaga kerja yang layak di tengah menurunnya angka kelahiran di Jepang. Populasi usia kerja diperkirakan akan turun 40% menjadi 45 juta orang pada tahun 2065, dari 74 juta saat ini.
Beberapa perusahaan besar di Jepang, seperti Fast Retailing Co. (pemilik Uniqlo), Shionogi & Co., Ricoh Co., dan Hitachi, telah menerapkan kebijakan empat hari kerja dalam seminggu. (cnbc)