Kasus Bunuh Diri Mahasiswi Undip Soroti Beban Spesialis

Dekan Fakultas Kedokteran Undip, Yan Wisnu Prajoko (tengah). DOK Istimewa

simantab.com – Kasus tragis kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) mengguncang dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Insiden ini menyoroti beratnya beban yang harus ditanggung oleh mahasiswa spesialis, terutama dalam program studi anestesi, yang dikenal sebagai salah satu yang paling menantang.

Dekan Fakultas Kedokteran Undip, Yan Wisnu Prajoko, menyatakan bahwa program anestesi memang memiliki tingkat kesulitan tinggi, dengan tanggung jawab tersebar di berbagai unit, termasuk ruang operasi, IGD, ICU, hingga bangsal anak dan psikiatri.

“Anestesi adalah salah satu yang terberat, terutama dari segi jam kerja. Baik saat pendidikan maupun setelah lulus, beban pekerjaannya sangat berat,” ujar Wisnu dalam konferensi pers di Kampus Undip, Jumat, 23 Agustus 2024.

Wisnu menyoroti kurangnya regulasi jam kerja yang jelas sebagai faktor yang membuat mahasiswa spesialis sering mengalami kelelahan ekstrem. Kondisi ini semakin memperparah situasi, sehingga ia menyambut baik terbitnya surat edaran dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menetapkan batasan 80 jam kerja per minggu.

“Sebelumnya tidak ada patokan jam kerja yang jelas, tapi sekarang sudah ada aturan dari Kemenkes. Jika dirata-rata, mahasiswa bisa masuk 6 hari dengan 10 jam kerja per hari, serta dua kali jaga per minggu,” jelas Wisnu.

Kasus meninggalnya mahasiswi berinisial R (30) dari PPDS Undip di RS Dr. Kariadi yang diketahui bunuh diri, memicu spekulasi terkait dugaan perundungan.

Meski Undip membantah perundungan sebagai penyebab kematian tragis tersebut, pihak kampus tetap membuka diri untuk investigasi lebih lanjut demi mengungkap fakta yang sesungguhnya.

Iklan RS Efarina